GELORA.CO - Mantan komisioner KPU Prof. Chusnul Mariyah mengatakan cawapres 01 Ma'ruf Amin yang masih menjabat sebagai pejabat BUMN bisa didiskualifikasi.
Ia menerangkan, dulu tokoh sehebat Gus Dur saja pernah dicoret karena tak memenuhi syarat. Apalagi kasus Ma'ruf Amin yang jelas-jelas ada peraturannya, tidak boleh menjadi capres/cawapres apabila masih menjabat sebagai Pejabat BUMN
GELORA.CO - Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang juga Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengomentari isu bakal masuknya partai oposisi dalam kabinet Jokowi. JK menyebut dalam dunia politik tidak ada kawan ataupun lawan politik yang abadi.
“Jadi politik itu dinamis sekali, karena itulah dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Hari ini berlawanan, tapi ujungnya juga bersamaan. Itu biasa saja dalam politik,” kata JK, Selasa(26/6).
Menurut dia, dinamika politik itu juga terjadi pada Pemilu tahun 2014, di mana Prabowo-Hatta yang didukung antara lain oleh Partai Golkar, PAN, dan PPP namun pada saatnya juga Golkar dan PPP bergabung dengan koalisi pemerintahan Kabinet Kerja.
Mantan ketua umum Partai Golkar itu menambahkan jika beberapa partai politik oposisi bergabung dengan koalisi petahana, maka berpotensi memicu perdebatan internal.
“Pengalaman kita, kebijakan kabinet berbeda dengan partai-partai yang ada di DPR. Itu biasa saja,” ujar Wapres.
Namun demikian, Wapres menjelaskan keputusan partai politik oposisi untuk bergabung dengan koalisi petahana kembali lagi kepada Presiden Joko Widodo.
“Karena pemerintah akan datang saya tidak ikut lagi, saya tidak tahu itu lagi koalisi-koalisi itu. Itu tergantung ke Pak Jokowi sendiri,” tuturnya.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Arsul Sani sebelumnya juga mengatakan bukan mustahil Partai Gerindra masuk ke dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Arsul menyatakan pihaknya tidak menutup diri terhadap partai politik yang mengusung Prabowo-Sandi, terutama Gerindra. Apalagi Gerindra selama ini merupakan oposisi yang ksatria. [ns]
GELORA.CO - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun angkat bicara soal adanya dugaan kejanggalan dana kampanye paslon 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin.
Diketahui kejanggalan tersebut santer dibicarakan setelah kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memasukkan sejumlah gugatan soal kecurangan hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui acara Kabar Petang' di tvOne, Refly menjelaskan bahwa permohonan gugatan paslon 02 tersebut mudah untuk dibuktikan, Senin (24/6/2019).
Hal itu dikemukakan Refly tentunya dengan pembuktian yang kuat.
"Yang saya ingin katakan, ini pembuktikan yang mudah dilakukan," ujar Refly.
"Karena apa? Karena hanya satu kasus, kemudian tempatnya juga bisa dilacak, alirannya bisa dilacak dan lain sebagainya."
"Beda sama dalil-dalil kualitatif yang besar itu," sambungnya.
Menurutnya, dugaan kejanggalan dana kampanye merupakan satu di antara yang paling mudah dibuktikan oleh MK.
Namun demikian, jika benar kejanggalan tersebut terbukti menyalahi pilpres, maka belum tentu juga bisa mendiskualifikasi Jokowi-Ma'ruf dari kontestasi Pilpres 2019.
"Yang paling bisa dibuktikan secara bulat, lagi-lagi dana kampanye soal Ma'ruf Amin dan sebagainya itu," jelas Refly.
"Tapi persoalannya adalah kalau itu terbukti misalnya ada pelanggaran dana kampanye oleh Presiden Jokowi atau bahkan barangkali ada sumbangan-sumbangan yang masuk sebagai gratifikasi misalnya."
"Karena tidak langsung kepada sumbangan tim kampanye tapi melalui Presiden Jokowi juga, maka kalau itu pun terbukti maka akan menjadi persoalan apakah itu cukup bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan," tandasnya.
GELORA.CO - Seorang petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) Kelurahan Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, bernama Selha Purba yang sempat viral di media sosial nyaris tewas lantaran ditabrak pengendara sepeda motor Honda Beat B 3135 ULA.
Diduga pengendara motor bernama Anang ini terpesona oleh kecantikan petugas pemilik instagram @selha_purba.
Kejadian tersebut terjadi pada Selasa (25/6) di sekitar lampu lalu lintas Nias, Jakarta Utara.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Utara Ajum Komisaris Besar Polisi (AKBP) Ahung Pitoyo membenarkan hal tersebut.
“Iya benar ada peristiwa kecelakaan,” kata dia saat dikonfirmasi, Selasa (25/6).
Akibatnya, Selha mengalami luka cukup serius di sekujur tubuhnya. Hingga kini dia masih dirawat intensif di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
“Yang bersangkutan mengalami luka-luka, seperti kepala kanan memar, kuping kanan robek, hidung lecet, kepala belakang memar,” ujarnya. [jn]
GELORA.CO - Sebuah video beredar di media sosial. Dalam video itu, tampak seorang lelaki memaki penjual nasi bebek. Dia menolak membayar segelas air teh Rp 1.000.
Selain itu, pria itu sesumbar akan menggusur tempat usaha itu ketika dirinya mengenakan baju dinas. Setelah ditelusuri, pria itu merupakan anggota Polsek Bekasi Utara.
Hal ini juga sudah diketahui oleh jajaran Polres Bekasi Kota. Oknum polisi itu lalu dihukum dengan hormat bendera.
“Iya (dihukum ) hormat bendera,” ucap Kasubag Humas Polres Metro Bekasi Kota Kompol Erna Roswing, saat dikonfirmasi, Selasa (25/6).
Erna tak menyebutkan siapa oknum polisi yang memarahi pedagang itu. Namun, berdasarkan sumber yang didapat polisi tersebut berasal dari Polsek Bekasi Utara.
Dari informasi yang dihimpun, kejadian tersebut bermula saat pria itu makan di sebuah warung nasi bebek di kawasan Bekasi Utara. Pedagang memang hanya menyediakan air mineral gelas.
Namun, oknum polisi itu meminta disediakan teh hangat. Sang pedagang lalu mencoba mencari teh hangat.
Sebuah kiriman dibagikan oleh NDOROBEII (@ndorobeii) pada
Usai makan, pedagang mencantumkan harga teh hangat Rp 1.000. Karena itu, oknum polisi itu marah dan tidak terima dengan uang yang diminta pedagang. Dia mengeluarkan kata-kata tak pantas kepada pedagang.
Kemarahan itu sempat terekam dan tersebar cepat di media sosial. Bahkan, oknum polisi itu sesumbar akan mengusir pedagang saat dirinya mengenakan pakaian dinas. []
GELORA.CO - Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Harry Kurniawan mengimbau masyarakat tidak usah melakukan unjuk rasa di depan gedung MK saat majelis hakim konstitusi membacakan putusan sengketa hasil Pilpres 2019.
Harry mengharapkan masyarakat agar menonton sidang pembacaan putusan lewat siaran langsung televisi.
"Saya menyampaikan dengan pengalihan (arus lalulintas,red) kemarin atau penutupan di depan MK, banyak masyarakat terganggu. Saya berharap masyarakat nonton di tv saja," kata Harry di Gedung MK, Selasa (25/6).
Sejauh ini, kata Harry, pihaknya tidak memberikan izin kepada kelompok mana pun untuk menggelar aksi di MK.
Di samping itu, menurut Harry, aksi di MK menurut sejumlah pihak tidak relevan dilakukan. "Sudah ada imbauan juga dari tokoh-tokoh bahwa tidak ada pengarahan di depan kantor MK pada saat penetapan," kata Harry.
Meski demikian, apabila nantinya saat sidang putusan akan ada aksi massa, maka pihak kepolisian akan mengarahkan massa ke sekitar Patung Kuda atau Gedung Sapta Pesona. Harry menegaskan aksi tidak boleh digelar di depan MK.
Sementara, hari ini sudah ada sejumlah massa yang menggelar aksi damai di kawasan Patung Kuda, Jakarta. Mereka mengusung tuntutan, mendesak hakim MK mendiskualifikasi Jokowi – Ma’ruf Amin. [jn]
GELORA.CO - Mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua menyebut ada dua kemungkinan yang menjadi alasan Mahkamah Konstitusi (MK) mempercepat sidang putusan PHPU Pilpres 2019. Salah satunya, untuk menghindari aksi massa besar-besaran yang rencananya akan dilakanakan pada Jumat (28/6/2019) pekan ini.
Hal itu dikatakan Abdullah saat memimpin aksi massa mengawal MK di depan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019).
Abdullah menduga alasan MK mempercepat sidang putusan pada 27 dari tanggal 28 Juni lantaran pada tanggal berberapa ormas telah merencanakan menggelar salat Jumat di Monumen Nasional, Jakarta Pusat.
"Sehingga mereka (MK) mencoba menghindari tanggal 28 hari Jumat, kan malalui operasi intelijen tahu kami akan salat Jumat di sini Monas akan seperti 212. Menghindari itu," tutur Abdullah.
Sementara, kemungkinan kedua mengapa MK mempercepat sidang putusan mungkin dikarenakan majelis hakim sudah cukup yakin untuk memutuskan perkara pada tanggal 27 Juni.
"Kalau itu kami lihat nanti. Mereka berani independen profesional tidak seperti KPU atau Bawaslu yang takut ancaman," ujarnya.
Lebih lanjut, Abdullah mengatakan meskipun sidang putusan MK dipercepat, pihaknya tetap akan menggelar aksi mengawal MK.
Aksi massa mengawal putusan tersebut akan terus berlangsung hingga tanggal 27 Juni.
"Khusus untuk beri dukungan dan support moral ke MK agar tidak takut punya keneranian independen, integritas, dan melaksanakan tugas sesuai tupoksi. Kami kawal sampai selesai," tandasnya. [sc]