Rabu, 26 Juni 2019

Saksi: Ada Pungutan Saat Rombongan Menag Datang Ke Jatim


GELORA.CO - Ada pungutan liar yang kerap diminta saat Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur menyambut kedatangan rombongan Menteri Agama Lukma Hakim Saifuddin ke Jawa Timur. 

Hal itu sebagaimana diungkap Kabid Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur, Zuhri saat menjadi saksi kasus suap jual beli jabatan untuk terdakwa Kakanwil Kemenag Jatim, Haris Hasanuddin di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (26/6) malam.

"Memang pas waktu mau melaksanakan Rakorpim di tingkat Kanwil, kami tahu-tahu dipanggil atau diminta Pak Haris. Biasa saya manggil Pak Haris mas, atau kang, "mas saya minta tolong nanti teman-teman kalau ada yang nitip uang dibantu ya"," kata Zuhri di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Rabu (26/6).

Zuhri mengatakan, yang menginisiasi pengumpulan uang tersebut adalah Jawa Timur Haris Hasanuddin yang saat itu masih menjadi Plt Kakanwil Kemenag Jatim. Menurut pengakuannya, uang terkumpul mencapai Rp 72 juta.

"Totalnya kurang lebih Rp 72 juta. Itu yang terkait kegiatan tanggal 1 Maret," kata dia. 

Namun demikian, Zuhri mengaku tidak tahu uang itu akan diapakan. Sepengetahuannya, uang itu sebatas untuk menyambut rombongan menteri.

"Apakah untuk teman-teman ajudan menteri, enggak jelas saya. Saya kurang tahu. Tapi untuk persiapan tamu-tamu semuanya. Saya berikan, saya siapkan," ujarnya.

Menag Lukman yang ada di ruang sidang tidak menyanggah kesaksian tersebut. Dia mengaku ada uang pungutan tersebut. Namun, dia memastikan telah melarang para pejabat untuk melakukan pungutan. 

"Jadi kalau ada pemberian dari siapapun juga ,melalui ajudan saya yang tidak ada tanda terimanya, saya tekankan jangan pernah terima itu," katanya.

Dalam perkara ini, Haris didakwa menyuap Romahurmuziy alias Romi senilai Rp 255 juta dan Menag Lukman sebesar Rp 70 juta. Tujuannya, untuk memuluskan proses pengisian jabatan di lingkungan Kemenag Jatim.  [rmol]

Hendri Satrio: Ruhut Harusnya Tanya Saja Maksud Gatot Nurmantyo Apa


GELORA.CO - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengobarkan semangat kepada para purnawirawan TNI untuk tidak tinggal diam dan bangkit melakukan perubahan demi menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak punah.

Ajakan itu disampaikan Gatot saat menghadiri acara halal bihalal purnawirawan ABRI, TNI dan Polri di Masjid Agung At Tin, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Selasa, (25/6).

Namun demikian, imbauan Gatot kepada purnawirawan TNI itu justru dianggap negatif oleh Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin. Salah satunya, Ruhut Sitompul. 

Dalam Twitter pribadinya, Ruhut bahkan mengadukan Gatot ke Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Gatot, dinilai oleh Ruhut tengah memanas-manasi para purnawirawan TNI dan Polri.

"Gatot sudah mulai mengompori para purnawirawan TNI dan Polri. Mau mencoba menggunting dalam lipatan. Waspada, waspada, waspadalah menghadapi situasi sekarang ini," kata pemeran Si Poltak dalam sinetron Gerhana itu.

Sementara itu, pakar komunikasi politik Hendri Satrio menilai bahwa Ruhut terlalu berlebihan. Sebab, apa yang disampaikan Gatot sebatas motivasi untuk rekan-rekan sesama mantan tentara. 

"Ah biasa saja, itu kan diungkapkan untuk internal, sesama teman-temannya," kata pengajar Universitas Paramadina itu kepada Kantor Berita RMOL, Rabu (26/6).

Lebih lanjut, dia menyarankan kepada Ruhut untuk bertanya langsung maksud dari Gatot menyampaikan ajakan tersebut, ketimbang berprasangka yang buruk.

"Pak Ruhut ini coba suruh tanya ke Pak Gatot langsung, maksudnya apa," sambungnya.

Pernyataan Ruhut, justru dinilai Hendri sebagai hal yang memanaskan situasi. Hal itu, tentu akan berdampak buruk bagi proses rekonsiliasi nasional. 

"Sebab, rekonsiliasi itu harus dimulai dengan saling percaya," pungkasnya. [rmol]

Pendekatan Politik Lewat Labelisasi Radikal Negatif Bagi Persatuan


GELORA.CO - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bereaksi keras atas pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko yang menyebut ada 30 teroris bersiap tunggangi aksi di depan Mahkamah Konstitusi (MK) saat sidang putusan sengketa pilpres.

Menurutnya, pernyataan itu selain mencitrakan bahwa negara tidak profesional karena gagal mencegah teroris berkeliaran, juga merugikan bagi umat Islam.

Atas alasan itu juga, mantan ketua umum PP Muhammadiyah tersebut merasa perlu untuk menanggapi pernyataan Moeldoko. Apalagi, Moeldoko merupakan mantan panglima TNI sehingga tidak mungkin asal bicara kepada publik.

"Saya perlu menanggapi pernyataan tersebut karena jika terjadi aksi teror nanti biasanya selalu dikaitkan dengan kalangan Islam," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu (26/6).

Din menjelaskan bahwa umat Islam sudah kenyang dijadikan sebagai tertuduh saat ada isu terorisme. Terlebih, sambungnya, belakangan isu radikalisme dihembuskan dan dikaitkan dengan politik identitas atau berdasarkan SARA.

"Pernyataan tentang adanya kelompok teroris itu mudah dilihat sebagai beririsan dengan isu tentang radikalisme yang dihembuskan sementara kalangan terakhir ini," terangnya.

Lebih lanjut, Din menilai pendekatan politik dengan pemberian cap radikalisme merupakan hal yang memecah belah umat dan bangsa.

"Pendekatan politik dengan labelisasi seperti itu tidak positif bagi persatuan bangsa, dan dapat dipandang sebagai politik beridentitas lain yg sejatinya bercorak radikal pula," demikian Din. [rmol]

Kasus Fanani Dirasa Janggal, Dahnil Siap Beri Pendampingan Hukum


GELORA.CO - Penetapan tersangka mantan Bendahara Umum PP Pemuda Muhammadiyah Ahmad Fanani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya dinilai penuh keanehan.

Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak menjelaskan bahwa pemeriksaan kasus ini sudah berlangsung selama lebih dari delapan bulan. Namun demikian, ada sejumlah kejanggalan yang terjadi.

Di antaranya, pihak Kemenpora dan Gerakan Pemuda Ansor yang ikut terlibat dalam kegiatan Apel dan Kemah Pemuda Islam Indonesia 2017 tidak diperiksa secara intensif. Sementara, pihak Pemuda Muhammadiyah yang diperiksa mencapai 30 orang.

“Jadi penetapanya itu janggal dan penuh keanehan,” kata Dahnil kepada Kantor Berita RMOL, Rabu (26/6).

Atas alasan itu, Dahnil memastikan dirinya akan memberikan pendampingan hukum kepada Ahmad Fanani.

“Pasti didampingi secara hukum,” pungkas Dahnil.

Ahmad Fanani yang menjadi Ketua Panitia Kemah Pemuda Islam Indonesia dari pihak Pemuda Muhammadiyah resmi menyandang status sebagai tersangka dugaan korupsi kegiatan tersebut. Penetapan ini, dikeluarkan setelah penyidik melakukan gelar perkara dan juga pemeriksaan terhadap saksi-saksi.

Polisi mencium ada penggelembungan data keuangan dalam laporan pertanggungjawaban (LPJ) Pemuda Muhammadiyah. [rmol]

Putra Presiden AS Diludahi Karyawan Restoran Di Chicago


GELORA.CO - Putra Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yakni Eric Trump mengatakan bahwa dia diludahi oleh seorang karyawan di sebuah restoran di daerah Chicago baru-baru ini.

"Itu murni tindakan menjijikkan oleh seseorang yang jelas memiliki masalah emosional," kata Eric Trump, seperti dimuat CNN (Rabu, 26/6).

Eric menyalahkan insiden itu pada bar dan restoran kelas atas Aviary di mana kejadian itu terjadi. Di bahkan lebih luas menyalahkan Partai Demokrat atas insiden yang menimpanya itu.

"Untuk partai yang mengajarkan toleransi, ini sekali lagi menunjukkan mereka memiliki kesopanan yang sangat kecil. Ketika seseorang cukup sakit untuk meludahi seseorang, itu hanya menekankan penyakit dan keputusasaan serta fakta bahwa kita menang," kata Eric.

Eric dan kakaknya yang memimpin bisnis real estat ayah mereka diketahui berada di kota itu untuk kunjungan ke Trump Hotel Chicago. Pihak restoran segera melakukan penyelidikan. 

"Kami tidak menyaksikan insiden itu dan kami baru mulai mempelajari detailnya. Yang pasti adalah ini, tidak ada pelanggan yang harus diludahi," kata pihak Aviary dalam sebuah pernyataan.

Karyawan yang terlibat dalam insiden tersebut belum diajak bicara, tetapi segera diberhentikan. [rmol]

Din Syamsuddin: Rakyat Bisa Bertanya Ke Moeldoko, Kok Negara Tidak Profesional?


GELORA.CO - Pernyataan Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko soal kesiapan 30 teroris yang akan menunggangi aksi saat pembacaan putusan Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada siang nanti, Kamis (27/6) tidak bisa dianggap sepele.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin bahkan menyebut pernyataan mantan Panglima TNI itu sebagai hal yang mengerikan.

Sebab, 30 teroris bukan jumlah yang sedikit. Apalagi, jika mengingat bahwa satu orang teroris bisa mengancam puluhan orang.

"Lebih mengerikan lagi, jika berita itu benar, akan mengancam nyawa puluhan ribu orang yang berunjuk rasa di Gedung MK," tegasnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (26/6).

Din meyakini Moeldoko dalam menyampaikan pernyataan didasarkan pada informasi intelijen yang mudah diaksesnya. Bahkan seharusnya Jenderal Moeldoko sudah berbuat sesuatu untuk mencegah aksi para teroris tersebut.

Jika tidak ada langkah pencegahan, sambung Din, maka hal itu dapat dianggap membiarkan atau negara tidak hadir menjaga keselamatan rakyat.

"Kalau gagal mencegah berarti negara tidak profesional menjaga keamanan. Rakyat akan bertanya, kok sudah tahu mengapa jebol," tegas mantan ketua umum PP Muhammadiyah itu.

Kepada Moeldoko, Din meminta agar memberi penjelasan secara terang benderang mengenai indikasi 30 teroris itu. Seperti di mana mereka berada, lewat mana mereka memasuki ibu kota, dan lain sebagainya. Seharusnya, sambung Din, jika informasi itu sudah diterima, aparat bisa melakukan penangkapan. 

"Kalau tidak, sinyalemen KSP itu akan mudah diduga sebagai asal ngomong, atau omongan semacam itu akan dinilai sebagai bagian dari skenario menakut-nakuti rakyat," terangnya.

Din mengaku perlu menanggapi pernyataan tersebut karena aksi teror selalu dikaitkan dengan kalangan Islam, sehingga umat Islam menjadi pihak yang dirugikan.

"Umat Islam sudah kenyang dijadikan tertuduh dengan isu terorisme, apalagi terakhir ini dihembuskan lagi isu radikalisme dikaitkan dengan politik identitas atau berdasarkan SARA," pungkasnya. [rmol]

MK Akan Menghukum Perampok atau Korban Perampokan?


*Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)

Ujian independensi Mahkamah Konstitusi (MK) akan terlihat besok. Mereka akan memutuskan siapa pemenang sengketa hasil pilpres 2019. Mari kita saksikan apakah MK akan menghukum perampok atau menghukum korban perampokan.

Tidak perlu dibawa berbelit-belit apalagi berkelit-kelit. Konstelasi pilpres ini sudah sangat terang-benderang. Yaitu, ada gerombolan pemilik berbagai macam kekuasaan yang merampok kemenangan rakyat; dan ada korban yang dirampok (Prabowo-Sandi). Semuanya hitam-putih. Tidak ada yang abu-abu.

Rekonstruksi kejahatan pilpres ini dapat dilakukan persis seperti konstruksinya. Situasi yang ada saat ini sama sekali tidak ruwet. Yang satu melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam proses panjang pilpres 2019, sedangkan yang satu lagi mengikuti kontestasi demokrasi dengan jujur dan terhormat.

MK tidak perlu menulis naskah putusan panjang-lebar. Tidak perlu berhalaman-halaman. Cukup satu halaman saja. Bahkan, mungkin cukup beberapa paragraf saja.

MK sudah mendengarkan dan menyaksikan bukti-bukti kecurangan pilpres itu. Bukti yang solid dan telak. Ada banyak bukti keras yang terungkap di persidangan, dan berjubel pula bukti di luar persidangan. Bukti-bukti itu tak terbantahkan oleh siapa pun juga. Kesaksian ilmiah dari Prof Jazwar Koto, PhD, tentang penggelembungan 22 juta suara pilpres, tidak bisa dipatahkan oleh KPU dan Termohon/Paslonpres 01. Prof Jazwar menguraikan temuannya berdasarkan metode ‘digital forensic’. Beliau dikenal di dunia karena dia adalah penemu dan pemberi sertifikat ‘finger print’ dan ‘eye-print’.

Seorang lagi saksi ahli yang memiliki reputasi adalah Idham Amiruddin. Dia adalah ahli IT. Idham ‘mengacak-acak’ DPT pilpres dengan bantuan piranti lunak (software) FoxPro. Sebagai contoh, dia bisa memergoki 1,354 orang yang memiliki KTP tetapi tidak punya KK. Terus, ada contoh 290 orang yang memiliki NIK (nomor induk kependdukan) yang sama. Kemudian, dengan mudah ditemukan pula conoth 137 orang dengan NIK yang lain lagi. Juga sama persis.

Padahal, NIK itu dibuat unik. Artinya, tidak ada satu orang pun yang ber-NIK sama dengan orang lain. Inilah antara lain contoh-contoh temuan Idham di DPT pemilu 2019. Idham menyebutnya NIK siluman atau NIK rekayasa.

Beranjak ke kesaksian lain. Fakta yang sangat menyeramkan. Desain pencurangan yang sangat kotor. TKN Jokowi-Ma’ruf membuat pelatihan yang salah satu materinya bertajuk “Kecurangan adalah Bagian dari Demokrasi”. Apa pun dalih yang dikatakan oleh saksi dari pihak Terkait (01), Anas Nashikin, tentang judul yang berbau premanisme itu, kita pantas menilai bahwa thema ini secara psikologis adalah inti dari pemikiran kubu 01. Inti dari keinginan mereka tentang pilpres 2019. Itulah target mereka. Itulah mentalitas mereka. Yaitu, mencurangi demokrasi. Mencurangi pilpres.

Tanpa mereka sadari, atau dalam bahasan lain “begitulah cara Yang Kuasa menunjukkan kejorokan akal kubu 01, tajuk materi ‘training for trainers’ TKN itu adalah ‘headline’ pikiran mereka tentang pilpres. Muslihat-muslihat kecuranganlah yang menjadi fokus pikiran mereka.

Inilah kecurangan kualitatif yang dibeberkan oleh caleg PBB, Hairul Anas, sebagai saksi dari tim Prabowo.

Tidak salah untuk disimpulkan bahwa bagi TKN, kecurangan wajar saja dilakukan dalam proses demokrasi. Tak heran kalau kecuranganlah yang mereka jabarkan di pilpres 2019 ini, yakni kecurangan yang rapi dan meluas. Mereka berhasil melakukan itu.

Tetapi, sebaliknya, pihak yang dicurangi, yang dirampok kemenangannya, juga sukses membongkar perbuatan bejat KPU dan Termohon. Anas Nashikin adalah saksi yang ‘jujur’ di depan MK.

Berbagai bukti yang dihadirkan di sidang-sidang MK hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak bukti kecurangan itu. Yang lebih banyak lagi adalah bukti-bukti yang tak terekam tapi semua orang tahu. Bukti yang tak memiliki saksi, tapi disaksikan oleh banyak orang

Para hakim MK, para Termohon, pihak-pihak terkait serta khalayak umum dapat disebut tahu persis tentang kecurangan yang TSM itu. Semua kita menyaksikan ‘abuse of power’ oleh petahana. Inilah salah satu bentuk kecurangan masif pilpres.

Siapa yang tidak melihat keberpihakan institusi Kepolisian RI (Polri) kepada petahana? Siapa yang tidak tahu aparat kepolisian ikut menggalang dukungan untuk petahana? Siapa yang tidak tahu macam-macam ‘pendektan’ kepolisian ke masyarakat untuk memenangkan petahana?

Tanpa rekaman audi atau video pun, Anda semua bisa lihat betapa transparannya aparat kepolisian melakukan keberpihakan itu.

Itu baru kepolisian. Banyak lagi institusi negara yang disalahgunakan oleh petahana. Termasuklah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian BUMN, dll. Dan BUMN-BUMN itu sendiri pun juga disalahgunakan. Mana bukti tertulisnya? Memang tidak ada kalau itu yang Anda minta. Tapi, kalau Anda menggunakan mata-kepala dan mata-hati, tak perlulah Anda menanyakan buktinya.

Saya sudahi saja tuisan ini dengan menyebutkan kewajaran bagi MK untuk menghukum kecurangan cawapres 01, Ma’ruf Amin. Dia terbukti melanggar aturan pemilu yang mengharuskan Pak Kiyai melepaskan semua jabatannya di berbagai lembaga milik negara, dalam hal ini BUMN. Ma’ruf menduduki posisi komisaris di sejumlah anak perubahaan MUMN yang berkedudukan sama dengan BUMN itu sendiri.

Jadi, dalam sidang putusan MK besok, kita wajar menantikan keputusan MK yang mendiskualifikasikan Ma’ruf Amin dari posisi cawapres. MK punya bukti dan alasan yang sangat kuat untuk itu.

Diskualifikasi juga seharusnya mengancam Jokowi. MK telah mendengarkan pembeberan bukti-bukti keras tentang pelanggaran yang diyakini telah dilakukan oleh petahana. Tidak hanya itu, MK juga wajar membatalkan pilpres sesuai permintaan tim hukum 02. (*)